Oleh: Ibnu Muchtar
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di
Saudi Arabia) pernah ditanya, (terjemahannya seperti ini) “Katanya ada hadis
yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau keluarga yang diniatkan
pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur bulu, rambut kepala dan
juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan ini umum untuk seluruh
anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban), baik dewasa atau
anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah dewasa saja, tidak
termasuk anak-anak?”
Jawab:
Kami
tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh yang
kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan
oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى
الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ
وَأَظْفَارِهِ
“Jika
kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu
Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban
membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” HR. Muslim no. 1977
Dalam
lafazh lainnya,
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أَهَلَّ
هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Siapa yang punya binatang kurban dan apabila telah memasuki
awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya
sampai ia berqurban.”
HR. Muslim no. 1977
Maka hadis ini menunjukkan terlarangnya
memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10
hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).
Hadis pertama menunjukkan perintah
untuk tidak memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan
wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari
hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong
(rambut dan kuku). Asal larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini,
yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil
yang memalingkan dari hukum asal yang melarang hal ini.
Secara jelas pula, hadis ini khusus
bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala
qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong
bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana
hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui
adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil
Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai
Anggota.
Sumber: Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah
lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407,
11/426-427, Darul Ifta’
Sikap Para ulama Terdahulu
Para ulama berselisih pendapat mengenai
orang yang akan memasuki 10 hari awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.
Pendapat Pertama: Hukumnya Haram
Sa’id bin Al Musayyib, Robi’ah, Imam
Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian ulama syafi’iyyah mengatakan bahwa larangan
memotong rambut dan kuku (bagi shohibul qurban) dihukumi haram sampai diadakan
penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan qurban. (Lihat, al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, V:170)
Secara zhahir (tekstual),
pendapat pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi shohibul qurban
berlaku sampai hewan qurbannya disembelih. Misal, hewan qurbannya akan
disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut
berlaku sampai tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram berlandaskan
hadis larangan memotong rambut dan kuku yang telah disebutkan dalam fatwa
Lajnah Ad-Daimah di atas.
Pendapat Kedua: Hukumnya Makruh
Pendapat ini adalah pendapat ulama
malikiyyah, syafi’iyyah, dan sekolompok hanabilah. Pendapat kedua ini
menyatakan bahwa hadis perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku)
menunjukkan mustahab. Sedangkan hadis larangan memotong (rambut dan kuku)
menunjukkan makruh yaitu makruh tanzih, dan bukan haram.
Adapun dalil yang memalingkan dari
hukum asal perintah dan larangan itu adalah hadis ‘Aisyah yang menyatakan bahwa
Nabi saw. pernah berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah
halalkan hingga beliau menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). H.r. al-Bukhari
dan Muslim. Lihat, As-Syarh al-Kabir, II:12, as-Syarh as-Shagir,
II:144, Bidayah al-Mujatahid, I:424, Mughni al-Muhtaj, III:283, al-Muhadzab,
I:238, al-Mughni, VIII:618, Kasysyaf al-Qana, III:5, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, II:309
Pendapat Ketiga: Tidak Makruh
Ulama hanafiyyah berpendapat tidak
makruh sama sekali, karena qurbani tidak diharamkan untuk bercampur, berpakaian
biasa. Demikian pula tidak makruh memotong rambut dan kuku sebagaimana kalau ia
tidak hendak qurban. (Lihat, al-Mughni, VIII:619)
Sikap Kami
Pemaknaan rambut yang tidak dipotong itu
termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang
ada di badan (Lihat, Syarh Riyadh as-Shalihin, I:2023)
Selanjutnya, dalam mensikapi berbagai
pendapat di atas, para ulama pada periode selanjutnya juga berbeda pendapat.
Ada yang menyatakan bahwa pendapat yang
arjah (paling kuat) adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan
yang disebutkan dalam hadis di atas dan pendapat ini lebih hati-hati.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang sangat lemah karena bertentangan dengan
hadis larangan. Sedangkan pendapat yang memakruhkan juga dinilai kurang tepat
karena sebenarnya hadis ‘Aisyah hanya memaksudkan bahwa Nabi saw. melakukan
perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian berjahit dan memakai wewangian,
yang seperti ini tidak dibolehkan untuk yang ihram. Namun untuk memotong rambut
adalah sesuatu yang jarang dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga
beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak berqurban.
Tanggapan
Menurut kami pendapat yang arjah justru
pendapat kedua dengan argumentasi sebagai berikut:
Metodologi pendapat pertama adalah “Asal
perintah menunjukkan wajib, dan asal larangan menunjukkan haram”. Karena tidak
mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal perintah dan hukum asal larangan,
maka disimpulkan bahwa memotong rambut dan kuku hukumnya haram.
Sedangkan
pendapat kedua secara metodologi tidak berbeda dengan pendapat pertama. Hanya
saja pendapat ini mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal perintah
dan larangan itu, yakni hadis Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم، بِيَدَيَّ، ثُمَّ قَلَّدَهَا وَأَشْعَرَهَا وَأَهْدَاهَا؛ فَمَا حَرُمَ
عَلَيْهِ شَيْءٌ كَانَ أُحِلَّ لَهُ
Dari Aisyah, ia
berkata, “Saya memintal kalung-kalung unta Nabi saw. dengan tangan saya. Kemudian
Rasulullah mengalungkannya, memberinya tanda dan mengirimkannya. tidaklah haram
atas beliau sesuatu yang dihalalkan Allah untuk beliau” H.r. al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, II:608, kitab al-Hajj, bab man asy’ara wa qallada bi Dzil
Hulaifah tsumma ahrama
Hadis ini
menunjukkan bahwa ketika beliau telah mengirim hadyunya, tidaklah haram atas beliau
sesuatu pun karena itu dan beliau tetap dihalalkan ketika masih berada di
Madinah. Maka ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dilarang seperti yang
dilarang bagi yang ihram.
Karena pendapat
kedua memenuhi syarat metodologi di atas, yaitu:
الأَصْلُ
فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ إِلاَّ لِقَرِيْنَةٍ
“Pada
asalnya perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada qarinah (indikasi, keterangan
pendukung)”
الأَصْلُ
فِي النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ إِلاَّ لِقَرِيْنَةٍ
“Pada
asalnya larangan itu menunjukkan haram kecuali ada qarinah”
Dan dalam hal
ini pendapat kedua mengetahui qarinahnya (hadis Aisyah di atas), hemat kami pendapat
kedua lah yang arjah.
Tanggapan
1. Bukankah
hadis Aisyah itu berkaitan dengan hadyu (sembelihan waktu ibadah haji),
sedangkan hadis (Ummu Salamah) tentang larangan berkaitan dengan udhhiyyah
(kurban)?
2. Hadis
Aisyah mengabarkan fi’il Nabi (perbuatan) dan hadis Ummu Salamah mengabarkan
qaul Nabi (sabda). Sedangkan al-Qaul muqaddamun alal fi’l (Sabda
didahulukan daripada perbuatan).
3. Apabila
tidak dianggap bertentangan maka hadis Aisyah sifatnya ‘amm (umum) dan hadis
Ummu Salamah sifatnya khash (khusus). Sedangkan al-Khash muqaddamun ‘alal ‘Amm
(khusus didahulukan daripada umum)
Jawaban:
Dalam
hadis itu dinyatakan secara umum dengan menggunakan lafal man dan dzabhun
(binatang sembelihan) tanpa dibatasi untuk hadyu atau udhiyyah, sebagai
berikut:
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ
هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا
حَتَّى يُضَحِّيَ
“Siapa yang punya binatang sembelihan dan apabila telah memasuki
awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya
sampai ia berqurban.” H.r. Muslim, Shahih Muslim, III:1566, No. 1977;
Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:94, No. 2791.
Sedangkan
dalam riwayat Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la, XII:348, No. 6917 dan Ibnu
Hiban, Shahih Ibnu Hiban, XIII:239, No. 5917) dengan sedikit perbedaan
redaksi:
مَنْ أَهَلَّ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَلَهُ ذَبْحٌ يُرِيْدُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ
وَأَظْفَارِهِ
“Siapa yang telah menyaksikan hilal Dzulhijjah dan punya
binatang sembelihan yang hendak disembelih, hendaklah ia membiarkan (tidak
memotong) rambut dan kukunya.”
Sedangkan hadis-hadis dengan redaksi udhiyyah
atau yudhahhi, hemat kami bukanlah sebagai takhsis (pengkhususan)
melainkan dzikr ba’dhi afrad al-‘amm (penyebutan sebagian satuan yang
tercakup oleh umum). Dengan demikian ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi
qurbani yang tidak haji.
Dengan demikian, Nabi tidak memotong
rambut ketika masih halal (belum ihram haji) bukan karena perbuatan itu jarang
dilakukan oleh Nabi, melainkan sebagai syariat.
Selain itu
terdapat penegasan dari Nabi bahwa memotong kuku dan mengambil rambut itu bukan
kewajiban melainkan sebagai pelengkap ibadah qurban
فَتِلْكَ
تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ
“Maka
itu semua adalah kelengkapan qurbanmu di sisi Allah” H.r. Abu Daud dan an-Nasai