Di
kalangan ulama terdapat perbedaan dalam menyikapi kedudukan mengangkat tangan
setiap kali takbir pada salat ‘ied. Sebagian berpendapat bahwa mengangkat
tangan pada saat itu disyariatkan yang tentu saja hukumnya sunat. Sedangkan
sebagian lagi menyatakan bahwa hal itu tidak disyariatkan, dengan kata lain
bid’ah. Terjadinya perbedaan sikap para ulama terhadap masalah ini, tampaknya
karena masing-masing pihak berbeda dalam menentukan kedudukan dalil-dalil yang berkenaan dengan hal itu, apakah sahih
atau daif ?
Dalam
tulisan ini, kami mencoba menganalisa kedudukan hadis mengangkat tangan setiap
kali takbir pada salat ‘ied, dengan mengemukakan alasan-alasan dari kedua belah
pihak, kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi
bahan kajian para ulama untuk menelitinya kembali.
Alasan Pendaifan
Ulama yang menyatakan bahwa
mengangkat tangan setiap kali takbir pada salat ‘ied itu tidak disyariatkan
berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan hal itu tidak dapat
dijadikan hujjah, dengan alasan sebagai berikut:
1) pada riwayat Al-Baihaqi dengan lafal
أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ فِي الْجَنَازَةِ
وَالْعِيْدَيْنِ
Sesungguhnya Umar bin al-Khatab mengangkat kedua
tangannya setiap kali takbir pada salat jenazah dan dua ‘ied. As-Sunanul
Kubra, III:293
Terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Lahi’ah.
[a] Ibnu Ma’in berkata, “Hadisnya tidak dapat
dijadikan hujjah”
[b] Ad-Darimi berkata, “Dha’iful hadis”.
[c] Ibrahim bin
Ya’qub Al-Jauzajani berkata, “Ibnu Lahi’ah tidak diketahui hadisnya. Dia tidak
dapat dijadikan hujjah, dan jangan tertipu oleh riwayatnya”
[d] At-Tirmidzi
berkata: Ibnu Lahi’ah daif menurut ahli hadis. Ia dinyatakan da’if dari segi
hafalannya oleh Yahya bin Sa’id al-Qathan dan yang lainnya.
[e] Ibnu Hiban
berkata: “Dia seorang syekh yang saleh, akan tetapi dia melakukan tadlis
dari rawi-rawi daif sebelum kitabnya terbakar” Al-Majruhin, II:11. Pada
riwayat ini, Ibnu Lahi’ah menerima dari gurunya bernama Bakar bin Sawadah
dengan shigah ‘an (عن). Karena itu hadis tersebut dikategorikan sebagai hadis mudallas.
Adapun keterangan yang menyatakan
كَانَ ابْنُ عُمَرَ مَعَ
تَحَرِّيْهِ لِلاِتِّبَاعِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ
“Ibnu Umar yang ta’assi dalam
mengikuti Nabi mengangkat kedua tanganya setiap kali takbir”
– Subulus Salam, II:1145
tidak dapat dijadikan hujjah selama tidak jelas sumbernya (riwayat siapa)
2) Di samping alasan kedaifan di atas, hadis-hadis
tentang masalah ini semuanya mauquf (amaliah sahabat) dan tidak ada satu
pun yang marfu (ucapan dan pengamalan Nabi). Sedangkan hadis mauquf
pada pokoknya tidak dapat dipakai hujjah (lihat, Taisir Mushthalahil Hasdits:109)
Alasan Pensahihan
Ulama
yang menyatakan bahwa mengangkat tangan setiap kali takbir pada salat ‘ied itu
disyariatkan karena berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan hal itu
dapat dijadikan hujjah, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, dari berbagai
kritikan terhadap Ibnu Lahi’ah di atas, hanya dua yang perlu ditanggapi, karena
dijelaskan sebabnya; Pertama, Ibnu Lahi’ah dinyatakan mukhtalith
(berubah hafalannya). Kedua, dinyatakan mudallis (menyamarkan sanad).
Abdullah
bin Lahi’ah lahir tahun 96/97 H dan
wafat tahun 174 H (Tahdzibul Kamal XV:499-500) Ia menerima hadis dari 65
orang dan memiliki murid sebanyak 45 orang (Tahdzibul Kamal XV:488-490).
Imam Al-Bukhari berkata, dari Yahya bin Bukair, ia berkata, “Rumah dan
kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar pada tahun 170” Tahdzibul Kamal
XV:496. Ibnu Hajar berkata “Abdullah
bin Lahi’ah shaduq, termasuk generasi ke-7. Ia mukhtalith
(berubah hafalan) setelah kitabnya terbakar”Taqribut Tahdzib I:309
Keterangan ini menunjukkan bahwa Ibnu Lahi’ah
termasuk salah seorang hafizh. Hal itu dapat dilihat dari jumlah guru dan murid
yang pernah menerima hadis darinya. Karena itu periwayatan Ibnu Lahi’ah pada
asalnya sahih. Adapun perubahan hafalan itu baru terjadi empat tahun sebelum
wafatnya (170 H). Karena itu, untuk mendaifkan hadisnya perlu menunjukkan bukti
bahwa hadis itu diriwayatkan setelah mukhtalit. Hal inilah yang menjadi
salah satu alasan kenapa Al-Bukhari dan
Muslim menggunakan periwayatan Ibnu Lahi’ah pada kitab Shahih-nya. Hadis
Ibnu Lahi’ah pada Shahih Al-Bukhari ditempatkan pada beberapa tempat,
antara lain:
·
كِتَابُ
التَّفْسِيْرِ بَاب ( إن الذين توفاهم الملائكة …)
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ
بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ وَغَيْرُهُ قَالَا
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ أَبُو الْأَسْوَدِ قَالَ قُطِعَ
عَلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ بَعْثٌ فَاكْتُتِبْتُ فِيهِ فَلَقِيتُ عِكْرِمَةَ
مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَأَخْبَرْتُهُ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ أَشَدَّ
النَّهْيِ
·
كِتَابُ
التَّفْسِيْرِ بَاب (وقاتلوهم حتى لاتكون فتنة …)
…وَزَادَ عُثْمَانُ بْنُ
صَالِحٍ عَنِ ابْنِ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي فُلَانٌ وَحَيْوَةُ بْنُ
شُرَيْحٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو الْمَعَافِرِيِّ أَنَّ بُكَيْرَ بْنَ
عَبْدِاللَّهِ حَدَّثَهُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ
يَا أَبَا عَبْدِالرَّحْمَنِ مَا حَمَلَكَ عَلَى أَنْ تَحُجَّ عَامًا وَتَعْتَمِرَ
عَامًا وَتَتْرُكَ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Menurut Ibnu
Hajar kata ghairuhu dan fulanun itu adalah Ibnu Lahi’ah (Liha, Fathul
Bari, IX:140 & 39-40; XIII:297; XIV:535) Sedangkan pada Shahih
Muslim hanya dimuat pada satu tempat,
yaitu
كِتَابُ الْمَسَاجِدِ
وَمَوَاضِعِ الصَّلاَةِ بَابُ
اسْتِحْبَابِ التَّبْكِيْرِ بِالْعَصْرِ
… عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ
صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ
فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَاهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّا نُرِيدُ أَنْ نَنْحَرَ جَزُورًا لَنَا وَنَحْنُ نُحِبُّ أَنْ
تَحْضُرَهَا قَالَ نَعَمْ فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْنَا مَعَهُ فَوَجَدْنَا
الْجَزُورَ لَمْ تُنْحَرْ فَنُحِرَتْ ثُمَّ قُطِّعَتْ ثُمَّ طُبِخَ مِنْهَا ثُمَّ
أَكَلْنَا قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ و قَالَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ
وَهْبٍ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ وَعَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
- صحيح مسلم 1: 278 –
Adapun tentang tadlis
Ibnu Lahi’ah sebagaimana dinyatakan Ibnu Hiban berkaitan dengan rawi-rawi yang
daif. Sedangkan dalam masalah ini, ia menerima dari rawi yang tsiqat bernama Bakar
bin Sawadah, salah seorang rawi Al-Bukhari dan Muslim. Dengan demikian, shigah
‘an dari Ibnu Lahi’ah dalam periwayatan ini memenuhi syarat sahih
al-Bukhari dan Muslim (lihat hadis Ibnu Lahi’ah pada riwayat Al-Bukhari di
atas)
Kedua, hadis Ibnu Lahi’ah di atas
diperkuat pula oleh sanad lain riwayat Al-Atsram, juga dari Umar bin Khatab
(Lihat, al-Mughni lib Qudamah, 2:119)
Ketiga, para ahli hadis
telah menetapkan bahwa hadis mauquf dapat dipakai hujjah karena
kedudukannya sama dengan hadis marfu, dengan syarat apabila terdapat qarinah,
baik lafzhiyyah maupun maknawiyyah yang menunjukkan hukum marfu.
Mauquf seperti ini disebut marfu hukman.
Salah satu di antara qarinahnya adalah apabila ucapan atau perbuatan
sahabat itu berhubungan dengan urusan aqidah dan ta’abbudi, sehingga la
majala lil ijtihad (tidak ada ruang untuk berijtihad). Lihat, Manhajun
Naqd, 1985:328-331. Dengan demikian, amaliyah Umar bin Khatab di
atas dikategorikan sebagai marfu hukman yang bisa dipakai hujjah.
Setelah memperhatikan
berbagai argumentasi dari kedua belah pihak di atas, kami cenderung memilih
pendapat kedua yang menyatakan bahwa mengangkat tangan setiap kali takbir pada
salat ‘ied hukumnya sunat. Wallahu A’lam
Oleh: Ibnu Muchtar