Laporan Keuangan PC PERSIS Batununggal


AQIDAH MALU


Merupakan tabiat manusia yang pertama menjadi perhatian adalah apa yang terlihat dan terdengar. Tetapi justru dengannya banyak orang tersimpangkan dari tujuan yang asal, banyak orang yang tertipu.
Suatu saat, sarana dan pelengkap hidup yang merupakan hummun berakibat menjadi hammu, seperti yang diungkapkan dalam satu ungkapan, man kâna hummuhu dunya fahua hammuhu. Apabila sarana dan pelengkap hidup menjadi tujuan pokok, akan menyebabkan bahan kebingungan; (1) Bingung karena tidak punya, (2) Bingung karena berkelebihan. Ketika segalanya telah dimiliki tetapi sarana untuk memiliki ternyata masih ada lebih, dia bingung sendiri harus diapakan miliknya itu. Timbulah pola konsumtif (israf), melebihi batas keperluan. Tapi justru Rasulullah ditegur Allah, mereka yang dinyatakan kecil/lemah pada satu saat akan dihimpun dan mewujudkan kekuatan yang bukan kecil artinya.
Ketika dua orang sahabat meminta bagian shadaqah, Rasulullah mempersilahkan dengan syarat mereka asnafnya, akan tetapi bila bukan maka itu termasuk “sukhtun” harta yang haram. Kedua sahabat itu tersentuh, bahwa mereka masih mampu berusaha sendiri dari pada harus meminta bagian shadaqah. Mereka pulang dengan tenang hati.
Akan tetapi satu saat Rasulullah mengingatkan, satarauna atsaratan, pada satu saat kalian akan melihat atsarah (sikap manusia lebih mementingkan sarana dan pelengkap hidup) maka wajar jika satu saat manusia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan.
Wajarlah jika Imam al-Bukhari membuat satu kitab, kitabul hiyal, kumpulan hadis yang menerangkan hailah (alasan). Inilah yang diterangkan Rasulullah, laa tartakibuu martakabatil yahuudu fatastahilluu mahaarimallah biadnal hiyali, ingatlah kalian!, kalian jangan berperilaku seperti orang-orang Yahudi, akibatnya kalian akan menghalalkan yang diharamkan Allah, biadnal hiyali, dengan alasan yang sepele.
Dengan berbagai macam alasan orang bisa tersimpangkan perhatiannya, tapi ingatlah, innallaaha ‘aliimun bidzaatis shudur, bahwa apa yang ada dalam hati, bagi orang lain bisa tersembunyi tapi bagi Allah apa hakikatnya yang tersembunyi itu.
Maka Rasulullah menanam sesuatu yang perlu jadi aqidah, fainnal hayaa`a minal iimaani, dalam arti manusia itu timbul rasa malu ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang dzahir, bila terdengar dan terlihat muncul rasa malu, akan tetapi bila tidak terdengar dan terlihat, hilang rasa malunya itu, inilah yang ditekankan oleh Rasulullah, fainnal hayaa`a minal iimaan, apakah secara dzahir ataupun tersembunyi al-hayaa`u sudah menjadi aqidah dalam dirinya.
Akibat daripada atsara, bukan melarang makan-minum. Tetapi, kuluu wasyrabuu walaa tusrifuu, silahkan makan-minum tapi jangan berlebihan.
Di negeri Mesir dahulu ada satu kepercayaan yang termasuk israf. Setiap tahun mereka mengadakan persembahan kepada dewa Nil. Dilakukan pemilihan, siapa gadis perawan yang paling cantik, mulai dari tingkat bawah sampai tingkat nasional. Semua orang merasa berbangga, karena anaknya, warganya ada yang terpilih calon permaisuri dewa Nil. Sebelum dipersembahkan segala keperluannya dipenuhi. Tidak kurang satu bulan, setelah itu baru dipersembahkan dan barulah terlupakan.
Persembahan itu hilang pada zaman Umar bin Khathab. Tetapi seperti tabiat yang pertama, satu saat akan terulang kembali, orang sudah melebihi batas, suatu saat mereka akan melakukan seperti yang dilakukan orang-orang Mesir itu. Diadakan pemilihan, mulai dari tingkat RT sampai tingkat nasional dan internasional. Anehnya, mereka mau diperlakukan apa saja. Meskipun sudah keluar dari jalur agama tetap saja ada helahnya, “Meskipun seluruh pakaian kami dibuka (setengah bugil) itukan di kolam renang di tempatnya.” Memang benar di tempatnya, tetapi orang yang mengshoot adegan itu dan menonton bukan hanya di kolam renang, di mana saja orang bisa melihat pertunjukkan seperti itu.
Jika pada zaman Mesir kuno mereka dipersembahkan kepada dewa, kita tidak tahu, apakah mereka pun akan dipersembahkan kepada orang-orang yang seperti Dewa. Kalau dahulu kepada Dewa Nil kalau sekarang dipersembahkannya kepada siapa?
Inilah makna, kuluu wasyrabuu wa laa tusrifuu, apabila sudah terjadi israf, sudah atsarul hayatid dunya, apa kira-kira yang akan terjadi? maka dalam hal ini kita perlu meneliti kembali kepada diri kita masing-masing, kita menjaga diri, keluarga, dan lingkungan.
Inilah yang dimaksud dengan jihad. Bukan dalam arti sekedar mengangkat senjata tetapi justru yang paling berbahaya adalah jihadul fikrah, jika satu saat, begitu mudah diserap oleh anak-isteri kita, bahkan tidak mustahil oleh kita sendiri, kiranya gambaran rumah tangga seperti apa?
Apabila hal-hal seperti ini sudah menyebar ke masyarakat luas, barangkali tinggal menunggu, waidzaa aradnaa an nuhlika qaryatan, apabila kami akan membinasakan satu negeri, amarnaa muthrafiihaa, kami akan memperbanyak kaum muthrafnya. Kaum muthraf bukan kaum yang terbelakang tetapi kaum muthraf adalah orang-orang sudah maju akan tetapi kemajuan, kemudahan bukan bertambah syukur tetapi bertambah kufur.
Apabila Sulaiman menyatakan, liyabluwanii a asykuru am akfuru, tetapi pada satu saat bagi kaum muthraf, bukan yasykurun tetapi yakfuruun, fadammarnaahaa tadmiraa, akibatnya kami akan membinasakan mereka sehancur-hancurnya.
Mudah-mudahan aqidah malu dalam diri kita, dalam arti al-Hayaa`u minal iimaan, bisa dijadikan pegangan untuk menghadapi segala yang dikhawatirkan oleh Rasulullah.
*) Disarikan oleh Ibnurund dari khutbah Jumat KH. Ikin Sodikin, tahun 2007. Diedit kembali oleh Ibnu Muchtar
Sumber: http://www.pajagalan.com/2007/07/aqidah-malu.html

Harta Kita Bukan Milik Kita (2)


   1.   Konsep Harta
    A.   Pengertian Harta dalam Islam
   Dalam bahasa Indonesia, seperti disebutkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995, hal. 299, bahwa harta mengandung dua makna; (1) barang-barang (uang dsb) yang menjadi kekayaan; (2) kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan.
Sedangkan dalam bahasa Arab harta kekayaan disebut mal. Kata mal secara bahasa diambil dari kata mail artinya condong atau cenderung kepada salah satu di antara dua sisi. Secara istilah mal adalah harta atau barang-barang yang menjadi kekakayaan. Ada dua alasan mengapa harta disebut mal; (1) karena harta senantiasa menjadi daya tarik bagi manusia, yakni membuat manusia cenderung kepadanya. Demi harta, orang siap bersusah payah menanggung segala macam resiko dan kesulitan. Demi harta pula, orang menjadi kikir untuk berinfak dan tidak peduli terhadap kesusahan orang lain. (2) karena harta selamanya tidak tetap dan mudah lenyap.
Di dalam Alquran penyebutan harta diulang sebanyak 86 kali; 25 kali dalam bentuk mufrad (tunggal, yakni mal), dan 61 satu kali dalam bentuk jama’ (plural, banyak, yakni amwal). Sedangkan dilihat dari bentuk ungkapan, kata tersebut ditulis dalam dua bentuk; Pertama, tidak dinisbahkan atau tidak dihubungkan kepada manusia sebagai “pemilik”, dalam arti berdiri sendiri, seperti al-mal dan amwal. Bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, antara lain dalam surat al-Kahfi:46
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا …
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia...
Bentuk ungkapan seperti di atas untuk menunjukkan bahwa ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.
Kedua, dinisbahkan atau dihubungkan kepada manusia sebagai “pemilik”, seperti amwalal yatama (harta-harta anak yatim), amwalukum (harta-harta kamu), amwaluhum (harta-harta mereka), dan lain-lain. Bentuk kedua ditemukan sebanyak 54 kali, dengan kategori sebagai berikut:
(1)  Amwal an-Nas disebut 4 kali, yaitu pada surat al-Baqarah:188; an-Nisa:161; at-Taubah:34; ar-Rum:39.
(2) Amwal al-Yatama disebut 1 kali, yaitu pada surat an-Nisa:10
(3) Amwalakum disebut 11 kali, yaitu pada surat al-Baqarah:188, 279; Ali Imran:186; An-Nisa:2, 5, 29; al-Anfal:28; Saba:37; Muhamad:36; al-Munafiqun:9; at-Taghabun:15.
(4) Amwaluna disebut 2 kali, yaitu pada surat Hud:87; al-Fath:11
(5) Amwalahum disebut 25 kali, yaitu pada surat al-Baqarah: 261, 262, 265, 274; Ali Imran: 10, 116; an-Nisa: 2, 6, 34, 38, 95; al-Anfal: 36, 72; at-Taubah: 20, 44, 55, 85, 103, 111; Yunus: 88; al-Ahzab: 27, adz-Dzariyat: 19; al-Mujadalah: 17; al-Hasyr: 8; al-Ma’arij: 24.
Bentuk ungkapan seperti di atas untuk menunjukkan harta yang menjadi objek kegiatan manusia.
Bila kita bandingkan kedua bentuk tersebut, ternyata bentuk kedua yang paling banyak digunakan dan dibicarakan oleh Alquran. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, mengapa bentuk kedua yg banyak dibicarakan oleh Alquran? Menurut hemat kami, hal itu sebagai dilalah isyarah (petunjuk secara isyarat) bahwa sudah seharusnya apabila harta yang menjadi objek kegiatan manusia, yang diatur oleh manusia, bukan sebaliknya manusia yg menjadi objek harta,  diatur dan diperbudak harta.
B.   Kedudukan dan Fungsi Harta Menurut Islam
Berbeda  dengan  dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran  harta. Padahal tidak demikian sebenarnya, sebab  pada  hakikatnya pandangan  Islam terhadap harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk  mencari  rezeki  bukan  hanya  yang mencukupi  kebutuhannya,  tetapi  Alquran memerintahkan untuk mencari apa yang  diistilahkannya  fadhl  Allah,  yang  secara harfiah  berarti  "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah satu ayat yang menunjuk tentang itu adalah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. Q.s. Al-Jumuah:10
Kelebihan  tersebut  dimaksudkan   antara   lain   agar   orang yang memperolehnya   dapat  melakukan  ibadah  secara  spemilikrna  serta mengulurkan tangan (memberikan bantuan) kepada pihak lain yang oleh  karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Pandangan  Alquran  terhadap  harta  bertitik tolak  dari  pandangannya terhadap naluri   manusia.   Seperti   diketahui,   Alquran memperkenalkan agama Islam antara lain  sebagai  agama  fitrah, dalam  arti  ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam  bidang  harta  Alquran secara tegas menyatakan:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ   
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Q.s.Ali imran:14
"Harta  yang  banyak"  oleh  Alquran  disebut   "khair"   (Q.s. Al-Baqarah:180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa  harta  kekayaan  adalah  sesuatu yang  dinilai  baik,  tetapi  juga  untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya  harus  pula  dengan  baik.  Tanpa memperhatikan   hal-hal   tersebut,   manusia  akan  mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Q.s. Al-Kahfi:46
Ayat tersebut memiliki korelasi (hubungan timbal balik) dengan ayat sebelumnya (45) yang menyatakan bahwa kehidupan dunia itu fana, tidak abadi. Dari korelasi tersebut terdapat kesan kuat bahwa Allah hendak memberikan pesan kepada manusia agar tidak tertipu oleh harta, karena harta sebagai bagian dari kehidupan itu pun nasibnya sama tidak abadi, sehingga tidak dapat mengabadikan kehidupan manusia di dunia.
Sehubungan dengan daya tarik harta yang luar biasa dan seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka ada dua hal yang diperingatkan oleh Islam berkaitan dengan harta
(1) kedudukan harta
a. harta itu milik Allah yang dipinjamkan kepada Manusia. Allah berfirman:

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu. Q.s.Al-Hadid:7
…وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ…
dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.Q.s.An-Nur:33
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia dan kekayaan alamnya, baik yang terkandung dalam bumi maupun yang tersebar di langit adalah milik Allah swt. Kesemuanya disediakan bagi kepentingan manusia guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu ibadah. Sedangkan manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai  hak khilafat, yaitu diberi kewenangan mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya sesuai dengan kehendak yang memberi kewenangan itu, yakni Allah. Dengan demikian, hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas.
b. Harta itu sebagai fitnah (ujian). Allah berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar Q.s.Al-Anfal:28

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Q.s. Al-Munafiqun:9
Yang dimaksud dengan fitnah adalah cobaan dan ujian, yaitu sesuatu yg berat hati untuk dilakukan atau ditinggalkan, diterima atau ditolak. Apakah dengan ujian itu manusia tetap berpegang teguh pada kebenaran atau justru kebatilan. Tetapkah melakukan kebaikan ataukah justru kejahatan. Dan salah satu di antara ujian, bahkan yang terberat bagi kaum mukmin adalah harta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasululullah saw.

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya bagi setiap umat ada ujian. Dan sesungguhnya ujian (terberat) bagi umatku berupa harta. H.r. Ahmad
(2) Fungsi Harta
a. Harta itu sebagai qiyaman

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum spemilikrna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Q.s.An-Nisa:5
Yang dimaksud dengan qiyaman adalah "sarana pokok kehidupan". Ayat ini menunjukkan bahwa Islam  memerintahkan  untuk menggunakan harta itu pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya,  bahkan memerintahkan untuk  menjaga  dan memeliharanya. Hingga Alquran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik. Dalam  konteks  ini,  Alquran  berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang.
b. Harta itu sebagai sarana ibadah

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Q.s.At-Taghabun:16
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Dari Abu Huraerah, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Kaya bukanlah karena kebanyakan harta benda, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa” H.r.Al-Bukhari
Ibnu Qudamah berkata, ”Di antara fungsi harta bagi kepentingan agama adalah membelanjakannya untuk dirinya, baik itu dalam ibadah seperti haji dan jihad atau sebagai penopang untuk beribadah, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan–kebutuhan pokok lainnya. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka hati tidak akan dapat berkonsertasi untuk agama dan ibadah. Sesuatu yang merupakan syarat wajib bagi terlaksananya ibadah, maka sesuatu itu termasuk ibadah.”
        Tatkala membuat perbandingan antara kefakiran dengan kekayaan, beliau berkata, ”Dunia itu harus diwaspadai bukan zatnya akan tetapi karena keberadaannya yang menjadi penghalang bagi tercapainya pendekatan kepada Allah. Kefakiran tercela bukan karena zatnya tetapi ia merupakan penghalang tercapainya pendekatan kepada Allah Swt. Betapa banyaknya orang kaya yang tidak disibukan oleh kakayaanya dari mengingat Allah, seperti Utsman bin Affan r.a. dan Abdurrahman bin auf. Betapa banyak juga orang fakir yang disibukan oleh kafakirannya, sehingga ia lupa kepada Allah Swt.”
Dalam konteks inilah Rasulullah sering berdoa agar dijauhkan dari kefakiran,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran, kefakiran, dan siksa kubur. H.r.An-Nasai
Dari doa ini tersirat suatu pesan bahwa kefakiran dapat menyebabkan seorang muslim terganggu pikiran, ketenangan, dan kekhusyukannya dalam beribadah kepada Allah ketika tersibukkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok yang tidak bisa terpenuhi. Dari kondisi fakir seperti ini kita dianjurkan untuk memohon perlindungan kepada Allah.   

SEGERALAH MENETAPKAN JAWABAN

Oleh: Drs. H. Uus M. Ruhiat

Ulama mengatakan, “Dalam segala sesuatu Ia (Allah) mempunyai ayat (dalil) yang menunjukkan bahwa Ia itu Maha Esa”. Seseorang yang dianugerahi wewenang dan kekuasaan yang tinggi tidak dapat menjauhkan Tuhan dan tidak pula menanam keyakinan tidak memerlukan Tuhan lagi, karena pada kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada dirinya terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa Ia itu Maha Esa, yaitu di atas wewenang dan kekuasaan manusia yang serba terbatas pasti ada penguasa dan pemilik wewenang yang Mahatunggal.

Ilmu pengetahuan dan harta yang diberikan kepada manusia tidak dapat dijadikan alasan seseorang menjauhkan orang dari Allah dan tidak memerlukan-Nya lagi, karena telah berilmu dan berharta. Tetapi ia justru lebih mendekatkan diri kepada Allah, karena pada ilmu pengetahuan dan harta yang dianugerahkan kepada dirinya terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Ia itu Maha Esa.

Dua ekor kerbau bertemu di padang rumput dapat makan bersama tanpa perkelahian, sedangkan dua ekor ayam bertemu menghadapi makanan, tidak dapat memulai makan tanpa didahului dengan pertengkaran dan perkelahian terlebih dahulu. Oleh karena itu, bukan makanan yang menjadi sebab utama pertengkaran dan perkelahian, melainkan sifat dan tabiat yang ada pada dirinya.

Sebagian manusia yang menguasai ilmu dan teknologi, kemudian melupakan Allah dan mempunyai keyakinan tidak membutuhkan-Nya lagi setelah teknologi dikuasainya, berarti ia telah sesat amat sangat sesat. Bukan ilmu pengetahuan yang menjadi sebab utama kesesatan, melainkan kefasikan dan kezaliman yang ada pada dirinya, karena Islam tidak memusuhi teknologi dan tidak menafikan pengetahuan.

Berkat ilmu dan harta yang dimilikinya, mereka merasa terkabulkan segala keinginan dan tidak merasa berkekurangan, sehingga mendustakan ayat-ayat yang ada pada ilmu dan harta itu, Allah berfirman:

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى # أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

Sayang sesungguhnya manusia itu suka melewati batas, karena merasa dirinya cukup Q.s. Al-Alaq:6-7

 

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami turunkan derajat mereka dengan kesenangan dari arah yamg mereka tidak ketahui.  Q.S. Al-A’raf:182 

Kalaulah manusia hendak bertafakur secara teratur, dan menganalisis secara sehat akan kejadian yang setiap saat terlihat, yaitu yang hari ini ada, besok tiada, dan yang hari ini tidak ada besok ada, setiap hari ada yang datang dan pergi, sedang mereka datang bukan keinginannya dan pergi pun bukan kehendak pribadi. Datang dan pergi diatur oleh Dzat Yang Maha Tunggal. Teori apa lagi yang mereka percayai setelah kitab Allah dan Sunah rasul-Nya didustakan?

Allah berfirman:

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ

Apakah mereka tidak pikirkan tentang kerajaan langit dan bumi, serta apa yang Allah ciptakan, karena sesungguhnya bisa jadi telah dekat ajal mereka, maka kepada “omongan” apa lagi sesudah itu, mereka mau percaya?  Q.S. Al-A’raf:185


A.Hassan memberi keterangan dalam catatan kaki tafsir Al-Furqan, “Sesudah begitu banyak nasehat, keterangan dan perbandingan, kalau mereka tidak mau beriman, maka kepada keterangan apakah mereka mau beriman?”


Kesanggupan Menerima Ilmu dan Petunjuk

Nasihat dan peringatan akan berguna bagi orang yang memiliki kesanggupan untuk menaati dan melaksanakannya seluruh isi nasihat itu. Bahkan ditunggu dan diburunya walau berada di mana pun. Di samping Rasulullah saw. menyampaikan risalah, beliau pun ditanya dan diminta nasihatnya oleh para sahabat yang haus akan petunjuknya. Bagi Abu Jahal dan kawan-kawannya, petunjuk dan ilmu Rasulullah saw. tak ubahnya angin lalu, karena tidak ada manfaat sama sekali bagi dirinya. Bahkan bisa jadi mereka menganggap racun bagi pertumbuhan akidah dan keyakinannya, karena jangankan melaksanakan petunjuk itu, menerima pun sudah tidak mampu. Bahkan lebih baik menolak, agar menjadi pahlawan bagi nenek moyangnya. Allah berfirman:

إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Engkau hanya dapat memberi peringatan  kepada orang yang mengikuti peringatan dan takut kepada (Tuhan) Pemurah dalam (urusan) gaib. Oleh karena itu, gembirkanlah dia dengan ampunan dan pahala yang mulia. Q.S. Yasin:11
Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang orang memperhatikan peringatan yaitu orang-orang yang mempunyai kesanggupan, dan takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dalam Kitabul ilmu dengan judul bab Mengadakan Perjalanan dalam mencari jawaban terhadap masalah yang benar-benar terjadi dan mengajarkannya kepada keluarga.

عَنْ عُقبَةَ بنِ الحارِثِ - رضي الله عنه - : أنَّهُ تَزَوَّجَ ابنَةً لأبي إهَابِ بن عزيزٍ ، فَأتَتْهُ امْرَأةٌ ، فَقَالَتْ : إنّي قَدْ أرضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي قَدْ تَزَوَّجَ بِهَا . فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ : مَا أعْلَمُ أنَّك أرضَعْتِنِي وَلاَ أخْبَرْتِني ، فَرَكِبَ إِلَى رسول الله  صلى الله عليه وسلم  بِالمَدِينَةِ ، فَسَأَلَهُ : فَقَالَ رسول الله  صلى الله عليه وسلم  : (( كَيْفَ ؟ وَقَد قِيلَ )) فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجاً غَيْرَهُ . رواه البخاري .
Dari Uqbah bin harits ra., ia berkata, “Sesungguhnya ia menikah kepada putri Abu Ihab bin Aziz, lalu datanglah seorang wanita seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya menyusui Uqbah dan wanita yang dinikahinya’. Uqbah berkata kepadanya, ‘Saya tidak tahu bahwa engkau menyusuiku dan engkau tidak memberitahukan kepadaku’. Lalu ia naik (kendaraan) menuju Rasulullah saw. di Madinah dan ia bertanya kepada beliau, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘mau bagaimana lagi sedangkan ini telah diputuskan’. Lalu Uqbah berpisah dengan wanita itu, dan wanita itu menikah dengan laki-laki lain’”. H.R. Al-Bukhari
Keterangan di atas menggambarkan nilai ketauhidan seseorang dalam menempuh perjalanan yang cukup jauh, guna mencari kejelasan bagi peristiwa yang dialaminya untuk segera mencari jawaban dan kemudian diamalkan. Padahal memisahkan pasangan suami istri yang baru mulai menikmati keindahan rumah tangga bukanlah perbuatan yang mudah. Kalau bukan karena dorongan kesanggupan menerima ilmu dan petunjuk Rasul serta ruh jihadnya, niscaya hal itu dapat dilakukan dengan mulus. Oleh karena itu, pantas seorang  ulama mengatakan, “Pada zaman sahabat itu ayat belum datang, imam sedang mengakar, pada zaman sekarang Alquran sudah datang, iman masih mengambang”. Dengan demikian ayat-ayat Alquran ketika itu turun berangsur laksana gayung bersambut dan kata berjawab.
Pertumbuhan dan ilmu yang Allah mengutus aku (Muhammad) untuk menyampaikannya laksana air hujan yang lebat menimpa tanah, ada yang jatuh menyirami yang subur dan gembur, sehingga tanah itu dapat menyerap air dan menumbuhkan tanaman serta rerumputan. Di antara tanah itu juga ada tanah yang keras yang tidak menyerap air hujan, tetapi dapat membendung, sehingga air mengolam. Allah memberi manfaat dari air itu untuk diminum, menyiram tanaman dan memberi minum binatang. Di antara air itu juga ada yang jatuh pada tanah yang rata dan tidak dapat membendung air dan tidak pula dapat menumbuhkan tanaman, melainkan licin yang berbahaya dan membahayakan.
Keterangan di atas menggambarkan perumpamaan ilmu dan petunjuk yang dibawa Rasulullah saw. yang diterima manusia macam-macam, airnya sama, tapi jenis tanahnya berbeda. Andaikan hendak bercermin diri, termasuk jenis tanah manakah diri ini, tentu hanya masing-masing dirilah yang sanggup menjawabnya.

Laporan Keuangan ke-4 Wakaf Tanah Makam

LAPORAN KEUANGAN
PERIODE  30 JULI - 16 AGUSTUS 2010








A. Pemasukan


No
Tanggal
N  a  m  a
A l a m a t
Besar Infaq
Ket

20 Juli 2010


11.035.000
Pindahan
61
30 Juli 2010
Bp Amud



50
09 Juli 2010
Dahman J.
Jl.H.Basuki
100.000

51
09 Juli 2010
H.Ma’mun
Jl.H. Basuki
100.000

52
09 Juli2010
Hj.Tita
Jl.H. Basuki
100.000

53
09 Juli 2010
H.Yaya
Jl.H.Yaya
100.000

54
09 Juli 2010
H.Anda Ganda
Gumuruh
1.000.000

55
09 Juli 2010
Bpk.Supriya
Gumuruh
200.000

56
09 Juli 2010
Bpk.Dwijo
Gumuruh
100.000

57
09 Juli 2010
H.Enjun Asman
Gumuruh
100.000

58
15 Juli 2010
H.Aep Rahman
Kacapiring
100.000

59
11 Juli  2010
Sugeng Supriyadi
Antapani
192.500

60
17 Juli  2010
Jama’ah VI
Gg.Nata
600.000

Jumlah
31.035.500


B. Pengeluaran



20 Juli 2010
Pembayaran Tanah
560 m2
20.000.000

Saldo
11.035.500



Terbilang (Sebelas Juta Tiga Puluh Lima Ribu Lima Ratus Rupiah)

Bandung,
14    Sya’ban   1431 H

26       Juli       2010 M


Mengetahui

Ketua
Bendahara

Wawa Suryana Hidayat
Asep Nurjaman
Niat: 32.609
Niat: 25.852
 

Blogroll

About

Forum Mubalig PERSIS Batununggal Bertugas membantu Bidgar Dakwah dalam meningkatkan silaturahmi, kualitas, dan kuantitas mubalig dan bertanggung jawab kepada Bidgar Dakwah PC Persis Batununggal