KEDUDUKAN HADIS SHAUM SYAWAL

Oleh: Ibnu Muchtar dan Teteng Sopian
Sebenarnya masalah ini telah dibahas oleh asatidzah di berbagai media, namun karena muncul beberapa pertanyaan dan masih adanya yang menyatakan daif terhadap hadis syaum Syawal yang tentu saja membidahkan pelaksanaannya, sehingga muncul keraguan di kalangan umat dalam pelaksanaanya itu. Kami merasa perlu untuk meluruskan hal itu mudah-mudahan dapat menghasilkan istinbat yang kuat dan menentramkan.
Memang di kalangan ulama terdapat perbedaan dalam mensikapi kedudukan saum Syawwal. Sebagian berpendapat bahwa saum enam hari di bulan Syawwal itu disyareatkan yang tentu saja hukumnya sunat. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa saum itu tidak disyariatkan dengan kata lain bid’ah. Terjadinya perbedaan sikap para ulama terhadap saum syawwal, tampaknya karena masing-masing pihak berbeda dalam menentukan kedudukan dalil-dalil  yang berkenaan dengan saum itu, apakah sahih atau daif ?
Masalah ini kalau diteliti secara ilmiah dalam berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin (terdahulu) bukanlah masalah baru, tetapi persoalannya pernah berkembang sejak lama sekali. Masalah ini telah dibahas oleh para ulama yang masyhur, seperti Imam Abu Hanifah,  Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, At-Tirmidzi, dan lain-lain.
Dalam tulisan ini, kami mencoba menganalisa kedudukan hadis saum Syawwal dengan mengemukakan alasan-alasan dari kedua belah pihak, kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi bahan kajian para ulama untuk menelitinya kembali.
Alasan Pendaifan Hadis Saum Syawwal
Ulama yang menyatakan bahwa saum Syawwal itu tidak disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan saum itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadisnya daif. Adapun alasannya sebagai berikut:
A. Aspek sanad
1.   Hadis-hadis tentang saum Syawwal diterima dari Sahabat Abu Ayub,  dan pada umumnya diriwayatkan melalui Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit. Saad dinyatakan daif oleh para ulama, yaitu
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ عَنْ أَبِيْهِ ضَعِيْفٌ وَقَالَ النَّسَائِيُّ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ سَمِعْتُ أَبِيْ يَقُوْلُ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيُّ مُؤَدِّيٌ يَعْنِي أَنَّهُ كَانَ لاَ يَحْفَظُ وَيُؤَدِّيْ مَا سَمِعَ وَذَكَرَهُ بْنُ حِبَّانَ فِي كِتَابِ الثِّقَاتِ وَقَالَ كَانَ يُخْطِىءُ  - تهذيب الكمال 10 : 264 –
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya (Imam Ahmad), “Dia dhaif” An-Nasai berkata, “Tidak kuat” Abdurrahman bin Abu Hatim berkata, “Aku mendengar Bapakku berkata, ‘Saad bin Said Al-Anshari muaddi, yakni ia tidak hafal dan menyampaikan apa yang didengarnya’.” Ibnu Hiban menempatkan (rawi) ini di dalam kitab At-Tsiqat, dan berkata, “Dia melakuan kesalahan”. Tahdzibul Kamal X:264.
قَالَ الْحَافِظُ فِي التَّقْرِيْبِ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيُّ أَخُوْ يَحْيَى صَدُوْقٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata dalam kitab At-Taqrib, “Saad bin Said bin Qais bin Amr Al-Anshari saudara Yahya, dia jujur, buruk hapalan” Tuhfatul Ahwadzi III:468
قَالَ التِّرْمِذِيُّ : قَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيْدٍ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis membicarakan Saad bin Said dari segi hapalannya”. Tuhfatul Ahwadzi III:467
Imam Malik tidak mempergunakannya, dan mengingkari hadisnya. Aunul Ma’bud, VII:64
2.  Sanad Saad bin Said dari Umar bin Tsabit diragukan kemuttasilan (bersambung) nya, karena pada beberapa riwayat Saad menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, sedangkan pada riwayat Abu Daud At-Thayalisi, Saad bin Said tidak menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, tetapi dari saudaranya yaitu Yahya bin Said. (Aunul Ma’bud, VII: Demikian pula pada riwayat At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir IV:162).
3.  Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan melalui rawi selain Saad bin Said, yaitu Abdur Rabbih, kata An-Nasai, “Pada sanadnya terdapat rawi bernama Utbah, ia tidak kuat. Aunul Ma’bud, VIII:62.
4.    Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir IV:161), Ibnu Hiban (Al-Ihsan bi Tartibi Shahihibni Hibban, VIII:396-397), Abu Daud (Sunan Abu Daud, II:544), An-Nasai (As-Sunanul Kubra, II:163) semuanya melalui rawi yang bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi. Dia itu sayyiul hifzhi (buruk Hapalan). Siyaru A’lamin Nubala, VIII:367. Karena itu, di dalam Shahih-nya Imam Al-Bukhari menggunakan rawi Ad-Darawardi ini secara maqrunan (didampingi) oleh rawi lainnya yang tsiqat (kuat), seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim (lihat, Shahih Al-Bukhari, IV:138, bab Qishshah Abi Thalib)
5.    Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan oleh At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir, IV:162), melalui Yahya bin Said, dari Umar bin Tsabit itu juga daif, karena pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Main berkata, “Hadisnya tidak dapat dipakai hujjah.” Al-Hakim Abu Ahmad berkata, “Dzahibul Hadits (pemalsu hadis)”. Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, rusak hapalannya setelah terbakar kitabnya” (lihat, Tahdzibul Kamal, bit tahqiq Dr. Basyar Awad Ma’ruf, XV:487-503
6.    Kemuttasilan (bersambungnya) sanad Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub diperbincangkan oleh para ulama, karena riwayat yang pokok dari Abu Ayyub itu melalui  rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir bukan Umar bin Tsabit. Dengan demikian, sanad Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, yang tidak melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Munkadir, tapi langsung menerima dari Abu Ayyub, tidak muttasil (terputus sanadnya). Lihat, Aunul Ma’bud, VII:65.
7.     Selain diterima oleh sahabat Abu Ayyub Al-Anshari, hadis saum Syawwal diterima juga oleh sahabat-sahabat lainnya, yaitu
         a.     Jabir bin Abdullah riwayat Ahmad, Al-Bazzar, dan At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Amr bin Jabir, dia itu daif.
        b.     Abu Hurairah riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal.
     c.     Jabir dan Ibnu Abas riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Yahya bin Said Al-Mazini, dia itu matruk (dianggap berdusta).
       d.     Ibnu Umar riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Maslamah bin Ali, dia itu daif.
         e.     Ghanam riwayat riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Kabir, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Abdurrahman bin Ghanam, dia tidak dikenal.
Lihat, Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, III:186-187
A.  Aspek matan
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum Syawwal  mengandung kejanggalan, yaitu hadis saum Syawwal diriwayatkan dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di antaranya
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ, فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
Penggunaan kalimat di atas tidak menunjukkan kejelasan, apakah yang ditasybihkan (diserupakan) itu saumnya atau shaim-nya (orang yang saum). Di samping itu, penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang sejenis, yaitu “saum seperti saum” tidak sesuai dengan ketentuan bahasa.
Aspek amaliah ahli ilmu
Hadis saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli ilmu. Imam Malik berkata, “Saya tidak melihat seorang pun di antara ahli ilmu dan fiqih melaksanakan saum itu, dan tidak pernah sampai kepadaku khabar dari seorang pun ulama salaf, serta ahli ilmu memakruhkannya, dan mereka khawatir saum Syawwal itu bid’ah. Aunul Ma’bud VII:67
Demikianlah di antara alasan-alasan kelompok yang menyatakan bid’at terhadap saum enam hari pada bulan Syawal.
Alasan Pensahihan Hadis Saum Syawwal
A. Aspek Sanad
1. Keadaan Saad bin Said
Hadis saum Syawwal yang diterima dari sahabat Abu Ayub Al-Anshari diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim, I:522; At-thabrani, Al-Mu’jamul Kabir, IV:159-161 dan Al-Mu’jamul Ausath V:513, VIII:335; Ahmad, Al-musnad bit Tahqiq Ad-Darwisi, IX:138, 142, 143; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:132; An-Nasai, As-Sunanul Kubra, II:163-164; Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, IV:292; Abdur Razzaq, Al-Mushannaf, IV:315-316; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:33, semuanya melalui rawi bernama Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari.
Saad bin Said telah di-jarh atau di-tajrih (didaifkan) oleh sebagian ulama. Namun yang perlu ditanggapi adalah pentajrihan Ibnu Hajar dalam kitab-nya Taqribut Tahdzib, karena mubayyanus sabab (diterangkan sebab kedaifannya), yaitu sayyiul hifzhi (buruk hapalan).
Pentajrihan Ibnu Hajar terhadap Saad dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalat-nya. Pentajrihan terhadap seorang rawi yang seperti ini dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima.
Dengan demikian, penilaian Ibnu Hajar terhadap Saad tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, termasuk saum syawwal, namun  bergantung atas tafarrud atau tidaknya Saad dalam meriwayatkan hadis. Hal itu dapat kita lihat dari sikap  beliau terhadap riwayat Saad bin Said yang dimuat  Al-Bukhari dalam Shahih-nya walaupun sebagai syahid (lihat, Fathul Bari IV:180, Kitabuz Zakat, babu Kharshit Tamri).
Sepanjang penelitian kami, periwayatan Saad tentang saum Syawwal tidak tafarrud, karena
1. Pada riwayat An-Nasai, As-Sunanul Kubra II:163; Abu Daud, Sunan Abu Daud II:544; Ibnu Hibban Al-Ihsan Bitartibi Shahihibni Hiban, V:257-258; Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir IV:161, periwayatan Saad bin Said maqrunan (disertai) Shafwan bin Sulaim. Keduanya menerima dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari.
2. Pada riwayat An-Nasai, As-Sunanul Kubra II:163-164, diriwayatkan melalui rawi Abdur Rabbih bin Said (saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari
3. At-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir IV:162, melalui rawi Yahya bin Said (saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari.
Berdasarkan keterangan di atas, maka Saad tidak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis saum Syawwal, karena ia memiliki mutabi’ (tidak tafarrud).
2. Periwayatan Saad dari Umar bin Tsabit
Periwayatan Saad dari Umar bin Tsabit tidak perlu diragukan lagi kemuttasilannya (bersambungnya), karena periwayatan Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit melalui Yahya bin Said pada riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi dan At-Thabrani menunjukkan bahwa periwayatan Saad bin Said tentang saum Syawwal melalui dua orang guru, yaitu Umar bin Tsabit dan Yahya bin Said, dan periwayatan Saad bin Said dari Yahya bin Said di dalam ulumul hadits disebut riwayatul aqran, sebab Saad wafat tahun 141 h. (Tahdzibul Kamal, X:265), sedangkan Yahya wafat tahun 144 h. (Tahdzibul Kamal, XXXI:358). Hal ini sama dengan periwayatan saum Syawwal Abdur Rabbih bin Said, karena pada riwayat An-Nasai (As-Sunanul kubra, II:163) ia menerima dari Umar bin Tsabit secara langsung, sedangkan pada riwayat At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir, IV:162) ia menerima melalui Yahya bin Said.
3. Periwayatan Abdul Aziz bin Muhamad
Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan melalui Abdul Aziz bin Muhammad bin Ad-Darawardi dapat diterima, karena ia memiliki mutabi’ (tidak tafarrud), yaitu
A.   Syu’bah pada riwayat An-Nasai, As-Sunanul Kubra II:163.
B.  Abdul Malik bin Abu Bakar, Abdullah bin Abu Bakar, dan Abdur Rabbih bin Said pada riwayat At-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir IV:162
4. Periwayatan Ibnu Lahi’ah
Hadis Abu Ayub yang diriwayatkan melalui Yahya bin Said, walaupun pada sanadnya terdapat rawi Ibnu Lahi’ah, namun tidak menyebabkan periwayatan Yahya bin Said tertolak, karena pada riwayat At-Thabrani lainnya diriwayatkan melalui rawi Uthbah bin Abu Hukaim dan Warqa. (lihat, Al-Mu’jamul Kabir, IV:162)
5. Periwayatan Umar bin Tsabit dari  Abu Ayub
Periwayatan Umar bin Tasabit dari Abu Ayub melalui rawi bernama Muhamad bin Al Munkadir, kata Abu al Qasim bin Asyakir, ‘Keliru, yang benar Umar bin Tsabit menerima langsung dari Abu Ayub tidak melalui rawi bernama Muhamad bin Al Munkadir. (Syarah Sunan Abu Daud Ibnu Qayim, VII:66). Dengan demikian periwayatan Umar bin Tsabit melalui rawi Muhamad bin Al Munkadir merupakan Idraj fis sanad (penambahan rawi pada sanad).
6. Kedudukan hadis dari Sahabat lain
Hadis saum Syawwal disampaikan pula oleh  sahabat-sahabat lainnya melalui beberapa sanad dengan rawi-rawi yang berbeda, yaitu antara lain dari sahabat:
      a.  Jabir diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, Ahmad, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi
      b.    Abu Hurairah diriwayatkan oleh Al-Bazar dan Ath-Thabrani
      c.     Tsauban diriwayatkan oleh Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban
      d.    Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, Ahmad, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi
      e.     Aisyah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
      f.      Al-Barra bin Azib diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni
Walaupun pada sebagian sanadnya terdapat rawi yang dinyatakan daif oleh Al-Haitsami dalam kitabnya Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, III:186-187, namun periwayatan dari Sahabat Abu Ayyub di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebenaran periwayatan saum Syawwal dari sahabat-sahabat lainnya.
B. Aspek Matan
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum syawal tidak mengandung kejanggalan, karena yang dimaksud dengan كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ  adalah besarnya pahala yang akan diraih jika melaksanakannya. Dengan demikian kalimat tersebut mengandung pengertian sesungguhnya saum enam hari itu seperti saum satu tahun, karena satu kebaikkan itu berbanding sepuluh. Maka satu bulan Ramahan itu berbanding sepuluh bulan, dan enam hari itu berbanding dua bulan (lihat syarah muslim An Nawawi VIII:56).
C. Aspek Amaliah Ahli Ilmu
Saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli Ilmu sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik tidak berarti menafikan hukum sunahnya. Muhamad Syamsul Haq berkata,
وَلاَ يَخْفَى أَنَّ النَّاسَ إِذَا تَرَكُوْا الْعَمَلَ بِسُنَّةٍ لمَ ْيَكُنْ تَرْكُهُمْ دَلِيْلاً تُرَدُّ بِهِ السُّنَّةُ
“Yang jelas apabila orang-orang tidak mengamalkan suatu sunnah, maka tidak mengamalkannya mereka tidak menjadi dalil tertolaknya sunnah itu”. Aunul Ma’bud VII:62
Demikianlah di antara alasan-alasan kelompok yang menyatakan sunnah terhadap saum enam hari pada bulan syawwal.
Setelah memperhatikan keterangan-keterangan dari kedua belah pihak, kami berkesimpulan bahwa:
1. Hadis-hadis tentang saum enam hari pada bulan syawwal kedudukkannya sahih.
2. Saum  enam hari pada bulan syawwal hukumnya sunat.

 

Blogroll

About

Forum Mubalig PERSIS Batununggal Bertugas membantu Bidgar Dakwah dalam meningkatkan silaturahmi, kualitas, dan kuantitas mubalig dan bertanggung jawab kepada Bidgar Dakwah PC Persis Batununggal