Pendahuluan
Islam memandang
bahwa bumi merupakan amanah Allah kepada manusia sebagai khalifah-Nya agar
digunakan dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Untuk
mencapai tujuan itu, Allah swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya.
Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, baik akidah,
akhlak, maupun amaliyah.
Dua
komponen pertama, yakni akidah dan akhlak, bersifat konstan. Keduanya tidak
mengalami perubahan yang signifikan dengan berbedanya waktu dan tempat.
Sedangkan amaliyah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf
peradaban umat yang berbeda-beda sesuai dengan masa Rasul masing-masing. Hal
ini dinyatakan oleh Allah saw. melalui firmannya:
…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا …
Untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.Q.s.Al-Maidah:48
Ayat ini dipertegas oleh Rasulullah saw. melalui
sabdanya, "(artinya) Para nabi tak ubahnya bagaikan saudara sebapak,
syariah mereka banyak tetapi akidahnya sama (mengesakan Allah)” H.r. Al-Bukhari.
Syariat Islam sebagai syariat
yang dibawa oleh rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri. Syariat ini
bukan saja kamil atau komprehensif, tetapi juga syamil atau
universal. Karakter ini memang diperlukan, sebab tidak akan ada syariat lain
yang datang untuk menypemilikrnakannya.
Kamil
atau komprehensif berarti syariat Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik
ritual/ibadah maupun sosial/muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Khalik-nya, yang sering diungkap
dengan hablum minallah. Ibadah juga merupakan sarana yang efektif untuk
mengingatkan secara kontinyu tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi
ini. Adapun mu’amalah ditetapkan untuk menjadi rules of the game atau
“aturan main” bagi manusia dalam kehidupan sosial, yang sering diungkap dengan hablum
minannas.
Syamil
atau universal bermakna syariat Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan
tempat sampai hari kiamat nanti. Keuniversalan ini tampak jelas terutama pada
bidang mu’amalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, mu’amalah tidak
membeda-bedakan muslim dan non muslim. Sifat mu’amalah ini dimungkinkan karena
Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit (prinsip) dan mutagayyirat
(variabel).
Syariat
yang kamil dan syamil tersebut merupakan manhaj al-hayat (sistem
kehidupan) yang bertujuan menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik
menyangkut keselamatan agama, diri (jiwa-raga), akal, harta, serta keselamatan
nasab atau keturunan. Hal-hal tersebut merupakan al-hajat ad-daruriyat
(kebutuhan primer) bagi manusia dalam kehidupan ini.
Pelaksanaan
manhaj al-hayat secara konsisten dalam segala aspek kehidupan akan
melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebuah tatanan yang disebut oleh
Alquran sebagai hayatan thayyibah serta kebahagian di akhirat nanti.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perpemilikan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. Q.s. An-Nahl:97
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak
memiliki keinginan untuk “membumikan” atau menerapkannya dalam kehidupan, akan
melahirkan kekacauan dalam kehidupan dunia yang disebut oleh Alquran sebagai ma’isyatan
dhanka atau kehidupan yang sempit serta kecelakaan di akhirat nanti.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Q.s.Thaha:124
Salah
satu ajaran Islam dalam bidang muamalah adalah aspek kepemilikan harta kekayaan. Tentang kepemilikan, Islam memiliki prinsip
dasar: Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dengan
demikian, harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia, yang sering diklaim
sebagai miliknya secara penuh, pada hakikatnya milik Allah. Status kepemilikan
seseorang atas hartanya sekadar amanah, bukan kepemilikan sebenarnya. Karena
itu, ia harus dikelola dengan pijakan aturan
transaksi yang Allah gariskan. Ketika seseorang hendak mengembangkan
hartanya, harus pula berada dalam rambu-rambu etika dan hukum yang disyariatkan
Allah swt.
Sehubungan dengan itu, Islam cukup banyak memuat ajaran
tentang transaksi harta kekayaan, baik dalam Alquran, Sunnah,
maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam
masalah transaksi harta kekayaan sangat besar. Alquran memakai puluhan terminologi jenis-jenis
transaksi.
Ungkapan tersebut bahkan diulang sebanyak ratusan
kali. Terminologi
jenis transaksi tersebut, antara lain
adalah (1) tijarah, (2) bai’, (3) isytara, (4) dain (tadayan), (5) rizq, (6)
riba, (7)
dharb/mudharabah, (8) Syirkah, (9)
Rahn, (10)
ijarah/ujrah.
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada masalah
transaksi harta kekayaan, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep (pengertian) transaksi
dalam berbagai jenisnya. Mulai dari yang sederhana di pasar-pasar becek hingga menyusup dalam
panggung politik kenegaraan, sebab ternyata “nasib negara” juga banyak tergantung
pada transaksi. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah,
musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah,
jialah, ba’i salam, istishna’, riba, dan ratusan konsep transaksi
lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang
sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep itu.
Singkatnya, kajian-kajian transaksi
yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah, misalnya al-Umm
karya Imam as-Syafi’i, al-Mabsuth karya Imam as-Sarkhasi, Majmu Fatawa (kumpulan fatwa) karya Ibnu Taimiyah. Sekitar 1/3 isi kitab tersebut
berisi tentang kajian transaksi kepemilikan.
Dari
paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran tentang transaksi harta kekayaan yang luar biasa
banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran tersebut agar
keislaman kita menjadi kaffah (sempurna).
Dengan
demikian, penerapan ajaran Islam tentang transaksi
harta
kekayaan dalam variabel-variabel (faktor atau unsur) yang
sesuai dengan situasi dan kondisi bukanlah tugas sesaat, melainkan menjadi tugas kaum muslimin sepajang hayat.
Dalam konteks inilah konsep
akad syariah sebagai sebuah paradigma (kerangka berfikir) alternatif (pilihan
di antara beberapa kemungkinan) harus
terus disosialisasikan agar dapat diimplementasikan (dilaksanakan) secara
praktis oleh kaum muslimin Indonesia pada abad sekarang. Karena diakui bahwa
aplikasi (penerapan) sistem kepemilikan harta masih akan terus berevolusi dalam kerangka pencarian sistem
alternatif yang lebih manusiawi daripada sistem-sistem sekuler (memisahkan dunia dari
agama) dewasa ini.