AL-HUSN; SENANG DI DUNIA, BAHAGIA DI AKHIRAT


Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik, berbuat baik kepada Allah, sesama manusia dan makhluk lainnya. Ada banyak istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an untuk mengungkapkan perbuatan baik, salah satu diantaranya adalah al-husn.  Menurut Al-Raghib al-Ashbihaniy, al-husn merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengungkapkan perkara yang menggembirakan dan keberadaannya sangat diharapkan.
Misalnya saja, orang tua akan merasa gembira dengan keberadaan anak shaleh di sisi mereka, bahkan kehadirannya sangat mereka nanti-nantikan. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Rasulusullah Saw. memerintahkan kepada para orang tua untuk memberi nama kepada anaknya dengan nama yang baik. Perintah dan anjuran beliau tersebut diungkapkan dengan kalimat “an yuhsinasmahu” (memberi nama anak dengan nama yang baik). Maksudnya, dengan memberikan nama yang baik diharapkan si anak bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik sesuai dengan nama yang di sandangnya. Misalnya orangtua memberikan nama kepada anaknya dengan ‘Abdul Rahim’, maka ia memiliki harapan besar anaknya tersebut di kemudian hari akan menjadi hamba Allah yang ta’at dan menyayangi orang lain. Bukankah orang tua akan akan bahagia dan mengharapakan anak semacam itu?
Manusia terdiri dari 3 (tiga) unsure utama, akal, hawa nafsu dan pancaindra. Ketiga unsure ini akan mempengaruhi manusia dalam menentukan atau menilai sesuatu itu baik atau tidak. Oleh karena itu, dilihat dari ketiga unsure tadi, kebaikan (al-husn ) dapat dibedakan  3 (tiga) macam;
Pertama, baik persepsi akal. Akal memiliki kekuatan yang terbatas. Tidak setiap masalah bisa dipecahkan dan diselesaikan oleh akal. Oleh karena itu ada ungkapan “ghair ma’qûl)”, tidak masuk akal. Akan tetapi, bukan berarti sesuatu itu tidak dapat dibenarkan atau tidak ada. Mungkin saja, akal belum mampu untuk memahaminya. Saat akal kepayahan untuk menerima dan belum sampai pada perkara yang tidak bisa dipahaminya, maka ia akan mengembalikannya kepada sesuatu yang Maha Ada, Tuhan, se-atheis apapun orang itu. Tentu saja, bagi kita yang beriman kepada Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.kita mesti menyerahkan dan mengembalikan segala urusan itu sepenuhnya kepada Allah ”innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.
Kedua, baik menurut hawa nafsu. Hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri setiap orang tidaklah sama. Oleh karena itu, jika kebaikan diserahkan kepada masing-masing orang maka akan mucul berjuta persepsi kebaikan, untuk satu perkara saja. Inilah mungkin yang menjadi kelemahan dan keterbatasan hawa nafsu dalam menilai dan menentukan suatu kebaikan.
Ketiga, baik menurut hawa pancaindra. Kemampuan pancaindra dalam melihat kebaikan sangat terbatas. Mungkin yang dikatakan baik itu, terbatas kepada apa yang bisa dilihat, dirasa dan diraba. Di luar itu semua, tidak akan dianggap baik.
Karena persepsi manusia tentang kebaikan itu akan berbeda-beda, maka di sinilah peran dan fungsi Agama. Agama telah mengatur dan menuntun ketiganya agar selalu berjalan di rel yang benar. Agama tidak memandang baik itu dari tiga aspek saja. Kebaikan dalam perspektif Agama bersifat universal, bisa diterima oleh semua orang, di seluruh penjuru dunia dan di segala masa.
Kebaikan dalam pandangan Agama tidak terbatas kebaikan di dunia. Mencakup juga kebaikan di akhirat. Oleh karena itu, dari kata al-husn muncul istilah al-hasanah. Al-hasanah di sini digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menggembirakan dari sebab nikmat yang sampai kepada manusia, baik berupa ketenangan jiwa, kesehatan badan dan sebagianya.
Setiap orang pasti menginginkan kehidupan seperti itu, termasuk kita. Maka di setiap saat, di segala waktu tidak henti-hentinya kita berdo’a dan memohon kepada Allah agar keingingan kita itu terwujud. Dalam al-Qur’an Allah Swt.berfirman:
 Dan diantara mereka ada yang berdo’a,”Hai Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari ancaman neraka.” (QS al-Baqarah [2]:201)  
Saat menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir (1/243) menyebutkan bahwa Do’a yang terkandung dalam ayat di atas, merangkum setiap kebaikan dan menyimpangkan dari setiap keburukan di dunia. Maka sesungguhnya kebaikan di dunia mencangkup setiap yang dicari masalah dunawi berupa ‘afiat, tempat luas (yang baik), istri yang baik, rejeki yang luas lagi bermanfaat, amal yang shalih, kendaraan yang menyenangkan, sebutan yang baik dan sebagainya.
Itulah kebaikan yang kita harapkan di dunia. Tentunya kita tidak ingin dan tidak dianjurkan untuk meminta kebaikan di satu alam saja. Kita harus selalu berusaha untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas yang dimaksud kebaikan dunia akhirat itu adalah al- shihah wal ‘afiyat.
Dari Anas bahwasannya Rasulullah Saw.bersabda,menengok seorang muslim yang keadaannya sudah seperti anak burung (yang rontok bulunya), maka beliau bertanya kepadanya,”Apakah kamu berdo’a kepada Allah atau meminta kepada-Nya?” ia pun menjawab,”Benar”. Saya berdo’a,”Ya Allah, seandainya Engkau akan menyiksaku di akhirat maka segerakanlah di dunia.” Rasulullah Saw.bersabda,”Subhanallah, kamu tidak akan mampu, hendaklah kamu berdo’a,”Rabbanâ âtinâ fî al-Dunyâ hasanah wa fî al-âkhirati hasanah wa qinâ ‘âdzâbbannâr. (Hai Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari ancaman neraka). 
Selain al-hasanah, dari kata al-husn juga lahir kata al-Ihsân. Kata ini digunakan untuk mengungkapkan dua hal, yaitu, (1) memberi nikmat kepada orang lain; dan (2) berbuat baik dalam pekerjaannya. Hal itu akan terjadi apabila ia mengetahui ilmu yang baik atau mengamalkan amal yang baik.
Ihsan nilainya lebih dari ‘adil. Hal itu, dikarena adil adalah memberikan yang wajib baginya dan mengambil yang layak baginya. Sedangkan al-Ihsan ialah member lebih banyak dari kewajiban dan mengambil lebih sedikit dari haknya. Oleh karena itu, mencari atau memilih adil adalah wajib, sedangkan mencari dan memilih ihsan adalah sunnat.
Berkenaan dengan hal ini, berbuat baik seorang anak kepada kedua orang tuanya diungkapkan dengan kata ihsan. Hal tersebut dikarenakan, kewajiban orangtua terhadap anak, ada batasnya, sedangkan kewajiban anak kepada orangtua tidak terbatas. Sekalipun demikian, tetap saja kebaikan orangtua terhadap anaknya tidak akan terbalas secara materi. Emas sebesar gunung sekalipun belum cukup untuk membalas setetes air susu ibu. Seorang ibu bisa menggendong sepuluh orang anak, sebaliknya, sepuluh orang anak tidak akan bisa menggendong satu orang ibu saja. Karena itulah balas budi anak secara fisik dan materi tidak akan pernah tercapai untuk selamanya.
Mungkin secara materi anak tidak akan mampu membalas kebaikan orangtuanya. Namun masih ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang anak sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Saw.dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik. Rasulullah Saw.bersabda:
Sambungkan orang yang memutuskan silaturahmi, maafkanlah yang mendlalimimu. Seorang laki-laki bertanya,”Hai Rasulullah, apakah masih ada sesuatu dari kebaikan atas kedua orangtuaku setelah mereka wafat?” beliau menjawab,”Ada beberapa perkara; memohonkan ampunan bagi keduanya, melaksanakan washiyatnya, menghormati sahabat-sahabatnya dan menyambungkan silaturahmi yang tidak ada hubungannya kecuali dengan sebab keduanya.” (Syu’b al-îmân/10:335).
Hadits tersebut di atas merupakan wujud amal shaleh seorang anak, yang akan memberikan manfaat kepada kedua orangtua mereka. Mengenai hal ini, dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa suatu saat nanti akan bertemu dua orang yang saling tidak kenal, dimana yang satunya menyatakan bahwa memang dia itu bukan amalnya (orang tua) itu, tapi tidak lain hasil amal anaknys sendiri. Selain itu, amal anak-anak akan ditampakkan kepada keluarga mereka sendiri di alam kubur.
Sebagai pamungkas dari pembahasan ini, sudah semestinya kita selalu mengharapkan kebahagiaan di dunia maupun dan di akhirat. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut:
Dan carilah olehmu kebahagiaan negeri akhirat pada apa yang telah anugerahkan kepadamu dan jangan melupakan bagianmu dari dunia, dan hendaklah berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik terhadapmu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash: 77)
*) Disarikan dari ceramah KH. Ikin Sodikin, Penasihat PP. Persatuan Islam di Majelis Ahad Pemuda Persis Garut, Ahad 12 Juni 2011 di Kantor Bersama Persatuan Islam Garut
Sumber: mahad.blog.com
 

Blogroll

About

Forum Mubalig PERSIS Batununggal Bertugas membantu Bidgar Dakwah dalam meningkatkan silaturahmi, kualitas, dan kuantitas mubalig dan bertanggung jawab kepada Bidgar Dakwah PC Persis Batununggal