Ulama
mengatakan, “Dalam segala sesuatu Ia (Allah) mempunyai ayat (dalil) yang
menunjukkan bahwa Ia itu Maha Esa”. Seseorang yang dianugerahi wewenang dan
kekuasaan yang tinggi tidak dapat menjauhkan Tuhan dan tidak pula menanam
keyakinan tidak memerlukan Tuhan lagi, karena pada kekuasaan dan kewenangan
yang diberikan kepada dirinya terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa Ia itu Maha
Esa, yaitu di atas wewenang dan kekuasaan manusia yang serba terbatas pasti ada
penguasa dan pemilik wewenang yang Mahatunggal.
Ilmu
pengetahuan dan harta yang diberikan kepada manusia tidak dapat dijadikan
alasan seseorang menjauhkan orang dari Allah dan tidak memerlukan-Nya lagi,
karena telah berilmu dan berharta. Tetapi ia justru lebih mendekatkan diri
kepada Allah, karena pada ilmu pengetahuan dan harta yang dianugerahkan kepada
dirinya terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Ia itu Maha Esa.
Dua ekor kerbau
bertemu di padang rumput dapat makan bersama tanpa perkelahian, sedangkan dua
ekor ayam bertemu menghadapi makanan, tidak dapat memulai makan tanpa didahului
dengan pertengkaran dan perkelahian terlebih dahulu. Oleh karena itu, bukan
makanan yang menjadi sebab utama pertengkaran dan perkelahian, melainkan sifat
dan tabiat yang ada pada dirinya.
Sebagian
manusia yang menguasai ilmu dan teknologi, kemudian melupakan Allah dan
mempunyai keyakinan tidak membutuhkan-Nya lagi setelah teknologi dikuasainya,
berarti ia telah sesat amat sangat sesat. Bukan ilmu pengetahuan yang menjadi
sebab utama kesesatan, melainkan kefasikan dan kezaliman yang ada pada dirinya,
karena Islam tidak memusuhi teknologi dan tidak menafikan pengetahuan.
Berkat ilmu dan
harta yang dimilikinya, mereka merasa terkabulkan segala keinginan dan tidak
merasa berkekurangan, sehingga mendustakan ayat-ayat yang ada pada ilmu dan
harta itu, Allah berfirman:
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى # أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
Sayang sesungguhnya manusia itu suka melewati batas, karena merasa dirinya cukup Q.s. Al-Alaq:6-7
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا
يَعْلَمُونَ
Dan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami turunkan derajat
mereka dengan kesenangan dari arah yamg mereka tidak ketahui. Q.S. Al-A’raf:182
Kalaulah
manusia hendak bertafakur secara teratur, dan menganalisis secara sehat akan
kejadian yang setiap saat terlihat, yaitu yang hari ini ada, besok tiada, dan
yang hari ini tidak ada besok ada, setiap hari ada yang datang dan pergi,
sedang mereka datang bukan keinginannya dan pergi pun bukan kehendak pribadi. Datang
dan pergi diatur oleh Dzat Yang Maha Tunggal. Teori apa lagi yang mereka
percayai setelah kitab Allah dan Sunah rasul-Nya didustakan?
Allah
berfirman:
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ
اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ
حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Apakah mereka tidak pikirkan tentang kerajaan langit dan bumi, serta apa yang Allah ciptakan, karena sesungguhnya bisa jadi telah dekat ajal mereka, maka kepada “omongan” apa lagi sesudah itu, mereka mau percaya? Q.S. Al-A’raf:185
A.Hassan memberi keterangan
dalam catatan kaki tafsir Al-Furqan, “Sesudah begitu banyak nasehat, keterangan
dan perbandingan, kalau mereka tidak mau beriman, maka kepada keterangan apakah
mereka mau beriman?”
Kesanggupan Menerima Ilmu dan
Petunjuk
Nasihat
dan peringatan akan berguna bagi orang yang memiliki kesanggupan untuk menaati
dan melaksanakannya seluruh isi nasihat itu. Bahkan ditunggu dan diburunya
walau berada di mana pun. Di samping Rasulullah saw. menyampaikan risalah,
beliau pun ditanya dan diminta nasihatnya oleh para sahabat yang haus akan
petunjuknya. Bagi Abu Jahal dan kawan-kawannya, petunjuk dan ilmu Rasulullah
saw. tak ubahnya angin lalu, karena tidak ada manfaat sama sekali bagi dirinya.
Bahkan bisa jadi mereka menganggap racun bagi pertumbuhan akidah dan
keyakinannya, karena jangankan melaksanakan petunjuk itu, menerima pun sudah
tidak mampu. Bahkan lebih baik menolak, agar menjadi pahlawan bagi nenek
moyangnya. Allah berfirman:
إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ
فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Engkau
hanya dapat memberi peringatan kepada
orang yang mengikuti peringatan dan takut kepada (Tuhan) Pemurah dalam (urusan)
gaib. Oleh karena itu, gembirkanlah dia dengan ampunan dan pahala yang mulia. Q.S. Yasin:11
Berdasarkan keterangan di atas,
ada dua hal yang orang memperhatikan peringatan yaitu orang-orang yang
mempunyai kesanggupan, dan takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah.
Imam
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dalam Kitabul ilmu dengan judul bab
Mengadakan Perjalanan dalam mencari jawaban terhadap masalah yang
benar-benar terjadi dan mengajarkannya kepada keluarga.
عَنْ
عُقبَةَ بنِ الحارِثِ - رضي الله عنه - : أنَّهُ تَزَوَّجَ ابنَةً لأبي إهَابِ بن عزيزٍ
، فَأتَتْهُ امْرَأةٌ ، فَقَالَتْ : إنّي قَدْ أرضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي قَدْ تَزَوَّجَ
بِهَا . فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ : مَا أعْلَمُ أنَّك أرضَعْتِنِي وَلاَ أخْبَرْتِني
، فَرَكِبَ إِلَى رسول الله صلى الله عليه
وسلم بِالمَدِينَةِ ، فَسَأَلَهُ : فَقَالَ
رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( كَيْفَ ؟ وَقَد قِيلَ )) فَفَارَقَهَا
عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجاً غَيْرَهُ . رواه البخاري .
Dari
Uqbah bin harits ra., ia berkata, “Sesungguhnya ia menikah kepada putri Abu
Ihab bin Aziz, lalu datanglah seorang wanita seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya
menyusui Uqbah dan wanita yang dinikahinya’. Uqbah berkata kepadanya, ‘Saya
tidak tahu bahwa engkau menyusuiku dan engkau tidak memberitahukan kepadaku’.
Lalu ia naik (kendaraan) menuju Rasulullah saw. di Madinah dan ia bertanya
kepada beliau, kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘mau bagaimana lagi sedangkan
ini telah diputuskan’. Lalu Uqbah berpisah dengan wanita itu, dan wanita itu
menikah dengan laki-laki lain’”.
H.R. Al-Bukhari
Keterangan di atas menggambarkan
nilai ketauhidan seseorang dalam menempuh perjalanan yang cukup jauh, guna
mencari kejelasan bagi peristiwa yang dialaminya untuk segera mencari jawaban
dan kemudian diamalkan. Padahal memisahkan pasangan suami istri yang baru mulai
menikmati keindahan rumah tangga bukanlah perbuatan yang mudah. Kalau bukan
karena dorongan kesanggupan menerima ilmu dan petunjuk Rasul serta ruh
jihadnya, niscaya hal itu dapat dilakukan dengan mulus. Oleh karena itu, pantas
seorang ulama mengatakan, “Pada zaman
sahabat itu ayat belum datang, imam sedang mengakar, pada zaman sekarang
Alquran sudah datang, iman masih mengambang”. Dengan demikian ayat-ayat Alquran
ketika itu turun berangsur laksana gayung bersambut dan kata berjawab.
Pertumbuhan dan ilmu yang Allah
mengutus aku (Muhammad) untuk menyampaikannya laksana air hujan yang lebat
menimpa tanah, ada yang jatuh menyirami yang subur dan gembur, sehingga tanah
itu dapat menyerap air dan menumbuhkan tanaman serta rerumputan. Di antara
tanah itu juga ada tanah yang keras yang tidak menyerap air hujan, tetapi dapat
membendung, sehingga air mengolam. Allah memberi manfaat dari air itu untuk
diminum, menyiram tanaman dan memberi minum binatang. Di antara air itu juga
ada yang jatuh pada tanah yang rata dan tidak dapat membendung air dan tidak
pula dapat menumbuhkan tanaman, melainkan licin yang berbahaya dan
membahayakan.
Keterangan di atas menggambarkan perumpamaan ilmu
dan petunjuk yang dibawa Rasulullah saw. yang diterima manusia macam-macam,
airnya sama, tapi jenis tanahnya berbeda. Andaikan hendak bercermin diri,
termasuk jenis tanah manakah diri ini, tentu hanya masing-masing dirilah yang
sanggup menjawabnya.