Merupakan
tabiat manusia yang pertama menjadi perhatian adalah apa yang terlihat dan
terdengar. Tetapi justru dengannya banyak orang tersimpangkan dari tujuan yang
asal, banyak orang yang tertipu.
Suatu
saat, sarana dan pelengkap hidup yang merupakan hummun berakibat menjadi
hammu, seperti yang diungkapkan dalam satu ungkapan, man kâna hummuhu
dunya fahua hammuhu. Apabila sarana dan pelengkap hidup menjadi tujuan
pokok, akan menyebabkan bahan kebingungan; (1) Bingung karena tidak punya, (2) Bingung karena berkelebihan. Ketika segalanya telah
dimiliki tetapi sarana untuk memiliki ternyata masih ada lebih, dia bingung
sendiri harus diapakan miliknya itu. Timbulah pola konsumtif (israf), melebihi
batas keperluan. Tapi justru Rasulullah ditegur Allah, mereka yang dinyatakan kecil/lemah
pada satu saat akan dihimpun dan mewujudkan kekuatan yang bukan kecil artinya.
Ketika dua orang sahabat meminta
bagian shadaqah, Rasulullah mempersilahkan dengan syarat mereka asnafnya, akan
tetapi bila bukan maka itu termasuk “sukhtun” harta yang haram. Kedua
sahabat itu tersentuh, bahwa mereka masih mampu berusaha sendiri dari pada
harus meminta bagian shadaqah. Mereka pulang dengan tenang hati.
Akan tetapi satu saat Rasulullah
mengingatkan, satarauna atsaratan, pada satu saat kalian akan melihat atsarah
(sikap manusia lebih mementingkan sarana dan pelengkap hidup) maka wajar jika
satu saat manusia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang
diinginkan.
Wajarlah jika Imam al-Bukhari
membuat satu kitab, kitabul hiyal, kumpulan hadis yang menerangkan hailah
(alasan). Inilah yang diterangkan Rasulullah, laa tartakibuu
martakabatil yahuudu fatastahilluu mahaarimallah biadnal hiyali, ingatlah
kalian!, kalian jangan berperilaku seperti orang-orang Yahudi, akibatnya kalian
akan menghalalkan yang diharamkan Allah, biadnal hiyali, dengan alasan
yang sepele.
Dengan berbagai macam alasan
orang bisa tersimpangkan perhatiannya, tapi ingatlah, innallaaha ‘aliimun
bidzaatis shudur, bahwa apa yang ada dalam hati, bagi orang lain bisa
tersembunyi tapi bagi Allah apa hakikatnya yang tersembunyi itu.
Maka Rasulullah menanam sesuatu
yang perlu jadi aqidah, fainnal hayaa`a minal iimaani, dalam arti
manusia itu timbul rasa malu ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang
dzahir, bila terdengar dan terlihat muncul rasa malu, akan tetapi bila tidak
terdengar dan terlihat, hilang rasa malunya itu, inilah yang ditekankan oleh
Rasulullah, fainnal hayaa`a minal iimaan, apakah secara dzahir ataupun
tersembunyi al-hayaa`u sudah menjadi aqidah dalam dirinya.
Akibat daripada atsara,
bukan melarang makan-minum. Tetapi, kuluu wasyrabuu walaa tusrifuu, silahkan
makan-minum tapi jangan berlebihan.
Di negeri Mesir dahulu ada satu
kepercayaan yang termasuk israf. Setiap tahun mereka mengadakan
persembahan kepada dewa Nil. Dilakukan pemilihan, siapa gadis perawan yang
paling cantik, mulai dari tingkat bawah sampai tingkat nasional. Semua orang
merasa berbangga, karena anaknya, warganya ada yang terpilih calon permaisuri
dewa Nil. Sebelum dipersembahkan segala keperluannya dipenuhi. Tidak kurang
satu bulan, setelah itu baru dipersembahkan dan barulah terlupakan.
Persembahan itu hilang pada
zaman Umar bin Khathab. Tetapi seperti tabiat yang pertama, satu saat akan
terulang kembali, orang sudah melebihi batas, suatu saat mereka akan melakukan
seperti yang dilakukan orang-orang Mesir itu. Diadakan pemilihan, mulai dari
tingkat RT sampai tingkat nasional dan internasional. Anehnya, mereka mau
diperlakukan apa saja. Meskipun sudah keluar dari jalur agama tetap saja ada
helahnya, “Meskipun seluruh pakaian kami dibuka (setengah bugil) itukan di
kolam renang di tempatnya.” Memang benar di tempatnya, tetapi orang yang
mengshoot adegan itu dan menonton bukan hanya di kolam renang, di mana saja
orang bisa melihat pertunjukkan seperti itu.
Jika pada zaman Mesir kuno
mereka dipersembahkan kepada dewa, kita tidak tahu, apakah mereka pun akan dipersembahkan
kepada orang-orang yang seperti Dewa. Kalau dahulu kepada Dewa Nil kalau
sekarang dipersembahkannya kepada siapa?
Inilah makna, kuluu wasyrabuu
wa laa tusrifuu, apabila sudah terjadi israf, sudah atsarul hayatid
dunya, apa kira-kira yang akan terjadi? maka dalam hal ini kita perlu meneliti
kembali kepada diri kita masing-masing, kita menjaga diri, keluarga, dan
lingkungan.
Inilah yang dimaksud dengan
jihad. Bukan dalam arti sekedar mengangkat senjata tetapi justru yang paling
berbahaya adalah jihadul fikrah, jika satu saat, begitu mudah diserap
oleh anak-isteri kita, bahkan tidak mustahil oleh kita sendiri, kiranya
gambaran rumah tangga seperti apa?
Apabila hal-hal seperti ini
sudah menyebar ke masyarakat luas, barangkali tinggal menunggu, waidzaa
aradnaa an nuhlika qaryatan, apabila kami akan membinasakan satu negeri, amarnaa
muthrafiihaa, kami akan memperbanyak kaum muthrafnya. Kaum muthraf bukan
kaum yang terbelakang tetapi kaum muthraf adalah orang-orang sudah maju akan
tetapi kemajuan, kemudahan bukan bertambah syukur tetapi bertambah kufur.
Apabila Sulaiman menyatakan, liyabluwanii
a asykuru am akfuru, tetapi pada satu saat bagi kaum muthraf, bukan yasykurun
tetapi yakfuruun, fadammarnaahaa tadmiraa, akibatnya kami akan
membinasakan mereka sehancur-hancurnya.
Mudah-mudahan aqidah malu dalam
diri kita, dalam arti al-Hayaa`u minal iimaan, bisa dijadikan pegangan
untuk menghadapi segala yang dikhawatirkan oleh Rasulullah.
*)
Disarikan oleh Ibnurund dari khutbah Jumat KH. Ikin
Sodikin, tahun 2007. Diedit kembali oleh Ibnu Muchtar
Sumber: http://www.pajagalan.com/2007/07/aqidah-malu.html